Prediksi Terkini: Utang Indonesia akan jadi Warisan Presiden Berikutnya
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia memiliki hutang yang sangat banyak. Hal tersebut untuk membangun sarana-sarana yang nantinya akan dinikmati oleh para masyarakat kita dan tentunya juga untuk mensejahterahkan hidup masyarakat.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa utang-utang tersebut tidak akan cepat lunas yang mana akan diwariskan ke Presiden berikutnya.
Seperti yang telah disampaikan oleh Didik J. Rachbini secara tertulis selaku perwakilan Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economic & Finance) bahwa beliau prihatin atas banyaknya utang Indonesia sekarang yang lambat laun semakin besar. Beliau mengatakan bahwa warisan utang di tahun 2022 ini bisa mencapai lebih dari Rp 10.000 triliun.
Untuk saat ini utang pemerintah Indonesia bukan hanya terdapat di APBN saja, namun ada diberbagai aspek. Utang Indonesia tercatat saat ini dengan rincian :
- Utang APBN Rp 6.527 triliun,
- Utang BUMN Rp 2.143 triliun,
- Utang BUMN Keuangan Rp 1.053,18 triliun,
- Utang BUMN Nonkeuangan Rp 1.089,96 triliun.
Seperti yang terlihat didalam rincian, jika kita jumlahkan maka hutang Indonesia saat ini sudah mencapai Rp 8.670 triliun.
Selain itu, lanjutnya bahwa BUMN juga telah diminta dan telah dibebani oleh tugas untuk pembangunan infrastruktur diberbagai daerah yang dimana jika BUMN telat membayar atau gagal hingga bahkan bangkrut, maka hutang BUMN akan menjadi tanggungan APBN dimana utang tersebut akan menjadi tanggungan pemerintah. Bisa kita pastikan bahwa utang warisan untuk presiden berikutnya bisa lebih diatas angka Rp 10.000 triliun.
Dan jika kita telisik lebih lanjut, jika utang-utang yang berat ini selalu dibiarkan begitu saja dan bahkan bertambah, maka konsekuensi yang akan didapat oleh pemerintah akan lumpuhnya APBN imbas terkenanya beban utang yang mana harus membayar utang pokok dan pembayaran bunga yang tentunya sangat besar. Jika memang hal ini terus berlanjut, maka dari APBN dapat menjadi pemicu dalam krisis ekonomi.
Dikatakan oleh Didik J. Rachbini dimana jika menelisik krisis 20 tahun lalu atau krisis tahun 1998 yang salah satunya dipicu oleh nilai tukar mata uang, maka krisis yang mungkin terjadi sekarang akan dipicu oleh imbasnya utang APBN yang sangat berat serta digabung dengan berbagai krisis pandemi karena dari awal yang penganannya sudah salah kaprah. Kedua faktor itulah yang sangat potensial untuk memicu terjadinya krisis di Indonesia.
Menurutnya, pemerintah yang khususnya DPR dan Presiden harus dapat segera mengendalikan diri dan membuat kebijakan agar utang APBN lebih terkendali kembali. Selain itu pemerintah juga harus lebih cermat dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan dari pandemi covid-19 yang telah terjadi dari tahun 2019.
Salah satu hal yang dapat mengatasi utang adalah dengan mendorongnya pertumbuhan dibidang ekonomi secara moderat didalam jangka waktu yang cukup lama. Cara yang dilakukan adaah dengan melakukan strategi daya saing, strategi ekspor, dan strategi penyesuaian secara structural.
Namun meskipun begitu, strategi-strategi tersebut tentunya dimudahkan dilaksanakan mengingat adanya pandemic covid-19 yang mana penanganannya bisa dikatakan tidak atau kurang cekatan dikarenakan adanya permasalahan kaparitas didalam kepemimpinan dan tentunya ada masalah relasi politik yang telah rusak.
Ditakutkan bahwa nanti kedepannya masyarakatlah yang turut serta ikut dalam hal menanggung derita akan konsekuensi utang yang sangat berat dimasa mendatang. Atas keprihatinan untuk bangsa Indonesia ini, Didik J. Rachbini meminta jajaran pemerintah khususnya Presiden untuk tidak gegabah dan sembrono dalam mengusulkan berbagai anggaran dan menjadikan cacatnya didalam mengambil keputusan dan kebijakan anggaran yang terjadi di rapat paripurna bersama DPR.
Didalam penjelasannya, Didik J. Rachbini menjelaskan bahwa pada tahun 2019, utang yang telah diputuskan didalam anggaran APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) telah mencapai diangka Rp 921,5 triliun. Dimana angka tersebut didapat untuk membayarkan bunga, utang pokok, serta sisanya untuk menambal berbagai kebutuhan defisit.
Di tahun 2020 awal, akhirnya rencana utang negara telah ditekan di angka Rp 651,1 triliun. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan wajan APBN agar menjadi apik kembali. Namun krisis dan juga karena pandemic covid-19 yang tidak kunjung selesai sehingga mengharuskan pemerintah untuk memutuskan kebijakan baru mengenai utang yang akhirnya dinaikan di angka Rp 1.226 triliun. Dapat kita lihat bahwa utang yang akan dilakukan oleh APBN meningkat hampir 2kali lipatnya dari angka yang semula telah dikeluarkan.
Perubahan-perubahan tersebutlah yang dapat mencerminkan perilaku yang labil dan seenaknya sendiri dari pemerintah. Akibat yang telah ditimbulkan, tentu saja pemerintah akan mempunyai kewajiban melakukan pembayaran utang pokoknya serta bunga dan cicilan utang kepada luar negeri yang tidak termasuk di swasta pada tahun 2020 telah mencapai angka Rp 772 triliun.
Beliau mengingatkan kembali bahwa masalah yang ditimbulkan APBN ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.